Adam dan Mitos Buah Khuldi

“Tuhan yang Maha Pemurah,

yang telah mengajarkan al-Qur’an.

 Dia menciptakan manusia,

 yang mengajarinya pandai berbicara”

(Q.S. Ar-Rahman: 1-4)  

APA yang membedakan manusia dengan binatang?

Demikian, pertanyaan itu kerap muncul dalam sesi tanya jawab atau diskusi yang berlangsung antara dosen dan mahasiswa di dalam kelas.

Pertanyaan itu biasanya akan mengerucut pada jawaban bahwa yang membedakan keduanya adalah akal pikiran. Manusia memiliki akal dan pikiran, sedangkan binatang tidak.

Tapi, benarkah?

Tentu saja benar.

Dengan akal dan pikirannya itulah manusia dapat berkomunikasi, dan dalam setiap komunikasinya ia senantiasa menggunakan simbol. Dalam hal ini, simbol senantiasa menyertai setiap tindakan komunikasi manusia. Oleh karena itu tidak ada komunikasi jika tidak disertai dengan berbagai simbol.

Joel M. Charon dalam bukunya, Symbolic Interactionism (2007: 48-51) memberi cakupan simbol sebagai; “symbols are social object, syimbols are ‘meaningful’, “syimbols are used to  present and communicate”, dan “symbols are intentionally used”.

Dengan demikian simbol  adalah objek sosial dalam interaksi yang digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya. Orang-orang tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah objek di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat mewujud dalam bentuk objek fisik (benda kasat mata), kata-kata (untuk mewakili objek fisik, perasaan, ide dan nilai), serta tindakan (yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain).

Lalu, untuk apa simbol dicipta?

Pertanyaan lanjutan tersebut penting dikemukakan agar kita memahami betul tentang hakikat tentang kemanusiaan.

Bahwa simbol dicipta karena manusia selain makhluk berakal juga makhluk sosial. Ia perlu berinteraksi dan bersosialisasi satu dengan yang lain. Dalam berinteraksi itulah manusia saling berkomunikasi. Bagaimana ia menyapa dan memperkenalkan dirinya kepada orang lain jika tanpa kata dan bahasa. Di situlah simbol memegang peranan penting dalam berkomunikasi. Maka, kata dan bahasa yang kita  ucapkan adalah simbol. Nama kita pun simbol. Bahkan setiap gerak dan perilaku kita adalah simbol sebagai sarana untuk melakukan interaksi dan sosialisasi. Dengan demikian, tidak ada komunikasi tanpa disertai simbol.

Dalam ranah kajian komunikasi atau sosiologi, sifat komunikasi yang demikian disebut pula sebagai interaksi simbolik. Sebab, interaksi simbolik merujuk pada sifat yang khas dari interaksi antarmanusia, di mana individu saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya, baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri.

***

Agama (Islam) juga mengakui manusia sebagai makhluk simbolis. Dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa Tuhan-lah yang mengajari manusia berkomunikasi dengan menggunakan akal dan kemampuan berbahasa. “Tuhan yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, yang mengajarinya pandai berbicara” (Q.S. Ar-Rahman: 1-4)  

Sebagai bentuk penegasan bahwa manusia sebagai makhluk simbolis dapat kita baca lebih lanjut terjemahan ayat al-Qur’an berikut ini: “Dan Dia mengajarkan Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan yang kamu sembunyikan” (Q.S. al-Baqarah: 31-33).

Terjemahan ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa berbagai nama benda yang diajarkan Allah kepada Nabi Adam A.S., itu terdiri dari simbol-simbol sebagai sarana untuk berkomunikasi. Maka sejak peristiwa itulah, Adam pun kemudian ‘pandai berbicara’. Ia menjalin komunikasi dengan para malaikat. Ia  bahkan menjadi guru untuk menyampaikan nama-nama (ilmu pengetahuan, pen) yang telah diajarkan Allah kepada para malaikat.

Tidak cukup di situ. Untuk menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, Allah juga menciptakan Hawa, pasangan Adam. Mereka berdua saling bersosialisasi dan berinteraksi. Dari proses sosialisasi dan interaksi itulah tercipta lebih banyak simbol yang saling mereka pertukarkan hingga membentuk pengertian dan pemaknaan bersama.

Demikianlah, kisah pengajaran Allah kepada Adam tentang nama-nama benda menjelaskan kepada kita bahwa manusia adalah makhluk simbolik. Demikian pula kisah tentang penciptaan Hawa sebagai pasangan Adam, menjelaskan kepada kita bahwa manusia selain makhluk simbolik juga makhluk sosial. Dua kisah tersebut sekaligus juga menjelaskan kepada kita tentang makna dan hakikat komunikasi.

***

Lebih jauh Allah menjelaskan hakikat komunikasi itu melalui simbol ‘pohon dan buah khuldi’ sebagai pohon dan buah larangan untuk didekati, apalagi dimakan. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, Adam dan Hawa kemudian terlibat dialektika untuk memahami dan memaknai tentang pohon dan buah khuldi serta larangan Allah untuk mendekati, bahkan memakannya.

“Dan telah kami katakan, “wahai Adam! diamilah oleh engkau surga bersama istrimu. Dan makanlah (apa yang ada di dalamnya)  dengan nikmat sesukamu dan janganlah kalian berdua dekati pohon ini maka nanti kalian termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah: 35)

“Lalu, Apa gerangan yang membuat Allah melarang untuk mendekat dan memakannya? Ada rahasia apa di balik larangan itu?” Demikian kira-kira pertanyaan kedua makhluk Allah atas larangan tersebut.

Maka, di sinilah hakikat komunikasi itu Allah jelaskan. Berkomunikasi tidaklah sebatas bercakap dan berbicara, tidak pula sebatas mencipta dan bertukar simbol. Pada semua proses itu harus muncul dialektika bersifat reflektif dan kontemplatif dalam diri individu untuk dapat menyibak makna dan hakikat simbol yang menjadi objek bahasan sehingga diperoleh tafsir yang benar. Dialektika juga harus mampu menyingkirkan subjektivitas diri dengan cara menghadirkan hati dan nurani bersama rasio agar terhindar dari sifat berlebih dalam menafsir karena akan cenderung menimbulkan salah tafsir.

Seperti kita tahu, kisah tentang  ‘pohon dan buah khuldi’ itu berujung tafsir yang salah dari Adam dan Hawa. Dalam dialektikanya, mereka terjebak pada subjektivitas diri dan tak kuasa atas hadirnya tafsir lain yang muncul dan disimbolkan Allah sebagai bisikan setan.

“Kemudian setan membisikkan kepadanya dengan berkata, “wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.S Thaha: 120)

Dalam dialektikanya mereka hanya mengandalkan rasio dan lupa menghadirkan hati dan nurani sebagai simbol ‘kehadiran’ Yang Kuasa sekaligus sumber kebenaran. Karena salah menafsir, salah pula Adam dan Hawa memahami dan memaknai larangan Allah mendekati pohon dan buah khuldi. Tidak hanya didekati, buahnya pun bahkan ikut dimakan.

“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS. Al-‘A`raf : 22)

***

Kisah Adam dan Hawa dan dialektika keduanya tentang pohon dan buah khuldi, sesungguhnya memberikan ibroh (pelajaran, pen.) kepada kita untuk senantiasa berpikir dan bertindak reflektif yang mewujud pada tindakan komunikasi reflektif pula. Itulah bentuk tindakan komunikasi level tertinggi. Sebab, komunikasi reflektif hakekatnya tidak hanya menghadirkan aspek kesadaran akan kedirian kita, tetapi juga menghadirkan aspek yang lain, yaitu kehadiran ‘Yang Kuasa’. Kesadaran akan kedirian adalah bentuk dari rasionalitas, sedangkan kehadiran ‘Yang Kuasa’ adalah bentuk dari hati dan nurani yang mengikatkan diri kepada Allah sebagai sumber kebenaran. Sebab, jika hanya aspek kedirian dalam bentuk rasionalitas berpikir, kita hanya akan dibutakan oleh sempitnya pengetahuan kita.

Secara teologis, dialektika Adam dan Hawa tentang pohon dan buah khuldi adalah contoh nyata dari sempitnya pengetahuan manusia. Sedangkan secara faktual kondisi ketersesatan itu senantiasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana misalnya para politisi terlibat debat kusir tiada henti tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat, bagaimana pula konflik terjadi di mana-mana karena perbedaan memahami dan memaknai sesuatu hingga menimbulkan begitu banyak korban jiwa.

Semua itu senyatanya menunjukkan bahwa proses dialektika tentang sesuatu yang menjadi persoalan hanya dilandaskan kepada aspek kedirian seraya meniadakan diri Yang Maha Kuasa. Sebab, dengan tanpa menghadirkan Yang Kuasa dalam setiap dialektika dan komunikasi, masing-masing diri hanya akan beradu rasionalitas yang membuat jurang perselisihan dan pertentangan semakin terbuka. Masing-masing pihak terjebak dalam penciptaan simbol yang hanya dipahami berdasarkan rasionalitas berpikirnya. Perebutan atas kuasa Masjid al-Aqsa di Yerussalem yang melibatkan umat Islam, Yahudi, dan Nashrani, adalah contoh konflik yang tidak berkesudahan akibat penciptaan simbol yang dipahami berdasarkan sudut pandang masing-masing.

Maka, pada sisi inilah kita juga penting untuk semakin memahami bahwa rasionalitas itu berbatas. Bila sudah melewati batas, rasionalitas berpikir kita akan menjadi kacau sehingga tak bisa lagi membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang benar dan yang salah. Rasio harus dipandu oleh hati dan nurani agar tidak mengalami ketersesatan sebagaimana tersesatnya Adam dan Hawa dalam memahami dan memaknai pohon dan buah khuldi.    

Dengan pemahaman demikian, maka tindakan komunikasi itu tidak boleh hanya bersifat rasional, melainkan harus pula bersifat spiritual dan transendental. Komunikasi dengan siapa pun dan dalam konteks apapun harus senantiasa menyertakan aspek spiritual yang akan mengantarkan kita pada hakikat kebenaran. Komunikasi tidak boleh bebas nilai, dan karenanya segala simbol yang tercipta tidak boleh dimaknai dan dipahami secara bebas nilai pula, termasuk dimanipulasi.

Jika tidak, apa bedanya kita dengan binatang?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Saya Ab Malik

Selamat datang di Malcomm Site : media untuk mendokumentasikan tulisan tentang gagasan, pengalaman maupun hal lainnya. Semoga apa yang tertulis dalam web ini bermanfaat baik untuk pribadi maupun untuk pembaca.

Let’s connect